~* Belajar Pada Sebutir Buah… *~
Dikisahkan suatu hari Abu Shalih Zangi Dost
duduk-duduk di tepi sungai…Sudah berhari-hari perutnya belum diisi. Pada saat
beliau asyik dengan lamunannya tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda
terapung yang sedang terbawa arus. Dan benda tersebut ternyataaa…SEBUAH APEL.
Dan tanpa pikir panjang lagi maka dipungutnya buah itu lalu dimakannya oleh
beliau.
Namun…Seketika itu juga dia menyesal karena
telah makan buah tanpa seizin sang pemilik kebun…Maka, ia pun pergi ke arah
hulu sungai, dengan maksud mencari pemilik kebun apel guna meminta
halalnya…Dan, setelah ia berjalan lebih dari 10 kilometer akhirnya telah
sampailah dia di kebun milik Abdullah ibn Shaumai. Kemudian Abu Shalih Zangi
Dost segera meminta maaf kepada sang pemilik kebun itu…
Subhanallah…
“Kisanak…Saya bersedia memaafkan anda…”Kata
Abdullah sang pemilik kebun.
“Heeemmm…Kalau begitu saya sangat
berterimakasih…Dan semoga Allah SWT berkenan memberi pahala yang berlipat atas
kedermawanan hati Bapak…” Balas Abu Shalih dengan senangnya…
“Eh, tapi tunggu dulu anak muda…! Saya belum
selesai bicara…” Cegat Abdullah sang pemilik kebun.
“Hmmm…Ada persyaratan tertentu barangkali…?”
Jawab Abu Shalih berdiplomatis.
“Yah! Persis…! Itulah yang saya maksud…Bahwa
saya hanya mau memaafkanmu jika kamu bersedia menikah dengan putri saya yang
buta, bisu, tuli, dan lumpuh…” Jelas Abdullah…
Subhanallah…Sungguh syarat yang cukup berat
jika kenyataannya memang demikian adanya…
Akan tetapi…Apa boleh buat. Demi mendapatkan
kehalalan sebuah apel, maka Abu Shalih pun menerima syarat tersebut…
Dan…Alangkah kagetnya Abu Shalih ketika dia
masuk ke kamar pengantin…Heeemmm…Ia melihat sesosok gadis cantik jelita, yang
suaranya mendayu-dayu bagai hembusan angin sepoi-sepoi…Dan lebih-lebih lagi,
Dia tidak cacat.
Maka secepat itu juga Abu Shalih memutar
haluan, karena ia mengira bahwa ia telah “salah masuk kamar…”
“Hai…Ada apa gerangan…?” Tanya Abdullah sang
mertua Abu Shalih.
“Wahai bapak mertuaku…Sungguh, yang ada
didalam kamar pengantin itu bukanlah isteri saya…Sebab isteri saya kan buta,
bisu, tuli, dan lumpuh…” Jawab Abu Shalih dengan jujur…
Mendengar penuturan Abu Shalih, maka
mertuanya hanya tersenyum…
“Ia benar wahai menantuku…Dialah Fathimah,
putriku…Dialah yang telah kunikahkan denganmu. Adapun gambaran yang kuberikan
itu hanyalah kiasan belaka…! Yah…Putriku ‘Buta’ karena ia tidak pernah melihat
hal-hal yang tidak menyenangkan. Ia ‘Bisu’ Lantaran tidak pernah mengucapkan
kata-kata yang kotor…Ia ‘Tuli’ karena tidak pernah mendengarkan yang tidak
baik…Dan ia ‘Lumpuh’ karena tidak pernah keluar rumah…”
Singkat cerita…Pada akhirnya, dari pasangan
tersebut telah lahir seorang anak laki-laki pada 1 Ramadhan 471 H. Yang tidak
lain dianya adalah…
“Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani…”
&^_^& &*_*&
Heeemmm…Sekarang kita coba memetik hikmah
dari kisah singkat diatas yaaa…
**~ Tentang Kejujuran…
Ya! Yang bisa kita petik dari kisah di atas
adalah bahwa kejujuran itu sangatlah penting sekali. Sebab dengan kejujuran
pula seseorang dapat meraih prestasi tertinggi dalam segala bidang. Begitu
pula, dengan jujur maka apa yang mustahil bagi kita untuk mendapatkannya, maka
dengan secepat kilat tanpa sadar kita telah mampu meraihnya…
Kejujuran adalah perkataan dan perbuatan
yang cukup ringan dilakukan tapi mengandung kesan yang sangat mendalam. Maka
betul jika dikatakan, bahwa berkata dusta itu lebih kejam daripada pembunuhan.
Ya! Fitnah…Itulah kata-kata yang tidak jujur. Dan karena fitnah maka kita bisa
membuat hidup seseorang merasa terganggu. Bahkan…Dengan fitnah maka kita bisa
menenggelamkan dunia dalam iklim perang yang sangat dahsyat. Singkatnya…!
Berkata tidak jujur itu adalah awal dari terjadinya sebuah bencana…
Sungguh…Ianya Ringan untuk dikatakan, tapi
sebenarnya dia adalah puncak di mana kenyamanan dunia ini diletakkan…!
Subhanallah…
Pujangga pernah mengatakan, bahwa
“ORANG-ORANG SHALEH, HIDUP DI ZAMAN KAPAN
PUN, TIDAK PERNAH KEHILANGAN HARAPAN, BAHKAN DALAM SITUASI YANG MUSYKIL, DAN
DALAM KEADAAN MENAKUTKAN SEKALI PUN…”
Yah…! Itu semua karena orang shaleh adalah
orang yang senantiasa berkata jujur. Dia percaya bahwa dengan berkata jujur
maka Allah SWT pasti akan memberikan jalan hidup baginya.
Heeemmm…Mungkin kita pernah mendengar kisah
tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang hendak dirampok di tengah jalan
ketika dalam perjalanan menuntut ilmu.
Nah! Dengan kejujurannya, maka dia akhirnya
mampu mengislamkan pemimpin perampok beserta anak-anak buahnya sekalian…
Kita mungkin juga pernah mendengar kisah
tentang tiga orang laki-laki shaleh yang terjebak di dalam gua yang sangat
besar. Dan…Berkat kejujuran mereka pada diri mereka sendiri di hadapan Allah
SWT, maka…Akhirnya mereka bisa selamat dari himpitan batu besar yang menutup
pintu keluar gua tersebut. Ya! Mereka telah jujur kepada Allah SWT dengan
menyesali semua perbuatan nista yang hampir-hampir saja mereka lakukan…
Jadiii…
“Inti kejujuran adalah bahwa engkau berkata
jujur di wilayah yang…Jika seseorang berkata jujur, maka ia tidak akan selamat
kecuali dengan berdusta…”
Telah berkata Al-Junaid ibn Muhammad (wafat 297H/910
M). Maksudnya, Hakekat kejujuran itu adalah kita bisa tetap berkata jujur di
tengah himpitan dan paksaan seseorang terhadap kita. Agama sendiri membolehkan
kita berkata dusta dalam situasi seperti ini, semata-mata demi keselamatan diri
kita sendiri. Namun…Berkata jujur, itu tetap lebih tinggi derajatnya. Sebab,
dia telah yakin kalau Allah SWT pasti yang akan melindunginya.
Dan, mungkin kejujuran yang telah di
praktekkan oleh Abu Shalih (ayahanda Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani) tersebut
dan demikian juga yang telah dipraktekkan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
ketika hendak dirampok itulah kejujuran dalam arti yang sebenarnya…
Subhanallah…
La Haula Wala Quwwata Illa Billahil ‘Aliyyil
‘Adzim…
Hmmm…Dengan tetap berkata jujur, padahal
seandainya saja dia berbohong saat itu…mungkin uang 40 dinar milik Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani itu tetap akan selamat.
Akan tetapi…Sungguh! Allah itu Maha Tahu.
Karena justru dengan kejujurannya beliau tersebut itulah maka Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani akhirnya telah mampu menyelamatkan sekelompok orang dari
kesesatan hidupnya…
Allah Ya Karim…
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur
dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka…ia akan ditulis di sisi Allah SWT
sebagai orang yang jujur. Dan jika ia tetap berdusta dan berteguh hati untuk
berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” Demikian
sabda Rasulullah SAW dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi.
~* Jujur Itu…Biasa!
Yah…! “Jujur itu…Biasa (lumrah dan hal yang
wajar)”
Maka itulah kalimat untuk menggambarkan
perkataan dan perilaku sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW. Karena pada saat
itu, mencari sosok sahabat yang berkata dusta memang cukup sulit sekali. Ini
disebabkan karena hampir semua sahabat Nabi SAW dikenal sebagai orang yang
sangat jujur. Dan…Karena kejujurannya itulah, maka hampir semua riwayat dari
sahabat Nabi SAW sifatnya ‘Mutawatir’ (diterima atau shahih).
Begitu juga dengan era tabi’in. Maka
perilaku umat Islam pada masa ini hampir tidak jauh dengan era sahabat dimasa
Nabi SAW. Dan karena itulah…ada sebuah ungkapan Sufistik yang mengatakan bahwa…
“SAHABAT DAN TABI’IN MENGANGGAP BAHWA
KEJUJURAN BUKANLAH KEMULIAAN.”
Maksudnya…Tentu ungkapan tersebut bukanlah
bermaksud untuk melecehkan akan agungnya nilai sebuah kejujuran. Sungguh bukan
demikian yang dimaksud. Namun…Semata-mata untuk menggambarkan bahwa sifat jujur
pada diri mereka begitu lekat sekali…Sehingga dengan demikian, kejujuran dimata
mereka ibarat makan dan minum sehari-hari…Dan tentunya hal tersebut merupakan
sebuah kelumrahan untuk dilakukan bukan…?!
Dan salah satu yang menjadi penyebab mengapa
seseorang menjadi sulit untuk berlaku jujur adalah…
Karena orang semakin mementingkan kehidupan
duniawi daripada ukhrawi. Ya! Ketika konsep dan pemikiran seperti ini melekat
pada diri kita maka secara otomatis sebenarnya ada bagian dari hati dan nurani
kita yang justru telah menjadi buta ketika duniawi sudah dianggap sebagai Tuhan
kita…Lebih tepatnya adalah “Memberhalakan Dunia”. Maka segala sesuatunya
dihitung berdasarkan tinjauan harta benda atau untung rugi…
Maasyaa Allah…La Haula Wala Quwwata Illa
Billah…
Ohya, Persoalannya, bukan berarti Tuhan
melarang kita untuk berusaha lhooo!! Sebab ternyata Allah SWT malah
menganjurkannya. Hanya sajaaa…bagaimana kita bisa berpijak pada satu asumsi
bahwa dunia itu hanyalah sebagai perantara (batu loncatan) kita untuk menuju
akherat atau kebahagiaan di alam surgawi…
Subhanallah…
Dan…Ada salah satu cara terbaik bagaimana
agar kita bisa membiasakan diri untuk jujur. Menurut Ibrahim ibn Adham, salah
satu caranya agar kita biasa untuk jujur adalah…
HILANGKAN KESOMBONGAN DAN BERUSAHALAH UNTUK
SELALU RENDAH DIRI.
Sebab kita akan lupa diri hanya gara-gara
sombong. Yah…Dan ketika kita telah lupa diri, maka apa pun yang kita katakan
sudah tentu di luar kontrol, termasuk berkata dusta. Singkatnya…Bahwa bersikap
sombong itu secara tidak langsung telah membawa kita pada jurang kehancuran.
Karena, pada hakekatnya…Orang yang sombong itu telah mengakui dirinya sendiri
sebagai orang yang hebat. Padahal…Hanya Allah SWT lah yang paling pantas
mengatakan dirinya sendiri sebagai yang hebat, dan bukannya kita-kita ini
sebagai makhluk yang diciptakan oleh-Nya…
~*~ Menguntai Mutiara-Mutiara Hikmah Nan
Indah…Untuk Menjadi Perhiasan Yang Buta, Bisu, Tuli, Dan Lumpuh… ~*~
&*_*&
Heeemmm…Adakalanya hati telah mengalami
kemajuan dan kemunduran, menyinarkan cahaya dan terkadang redup, giat atau,
mengalami kemunduran dari aktivitas yang biasa dilakukan oleh seorang Muslim.
Demikianlah petunjuk yang di tempuh Rasulullah SAW, Lantas kita beri jiwa
haknya dari perkara yang mubah dan memenuhi hak-haknya dalam melaksanakan
ketaatan…
Ya! Memanfaatkan waktu giatnya jiwa
merupakan suatu keputusan yang bijaksana dan meninggalkannya dikala malas dan
lemah merupakan petunjuk yang mulia. Sebagai contoh, membaca Al-Qur’an selalu
variatif dalam memilih waktu yang disukai oleh jiwa, maka terkadang kita
membaca dengan melihat mushaf, dan terkadang dengan menghafal, dan terkadang
membaca dengan cepat, terkadang membaca secara tartil, dan terkadang membaca
dengan suara pelan dan terkadang juga membaca dengan suara yang keras. Lalu
terkadang membacanya pada malam hari, dan terkadang pada siang hari, terkadang
waktu shubuh, Dhuha, Dzuhur, Ashar, atau pun Maghrib, atau juga waktu isya’
dengan memperhatikan kekuatan dan keinginan kita masing-masing, serta sedikit
atau pun banyaknya jumlah yang akan dibaca…
Contoh kedua adalah…
Shalat dan waktu-waktu giat beserta
amalan-amalan yang menyertainya seperti khusyu’. Maka…Pada waktu jiwa menjadi
giat harus dimanfaatkan secara maksimal. Adapun saat mengalami kemunduran dan
futur maka diarahkan ke jalan yang benar…Agar cahaya semangat kembali terang.
Dan terkadang pada waktu yang lama dan terkadang waktunya diperpendek, serta
memperbanyak ibadah nafilah pada waktu giat, sehat, dan luang.
Demikian halnya dengan Qiyamul Lail,
memanfaatkan jiwa di kala bersih dan giatnya di malam hari seakan-akan itulah
malam terakhir serta mengarahkannya kepada hal-hal yang positif di kala futur
sebagai bentuk pengakuan agar beragamnya tabiat setiap jiwa. Nah! Demikian
halnya juga dengan dzikir, do’a baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya,
yang umum maupun yang khusus dan memperhatikan waktu-waktu giat dan futur.
Dengan demikian kita telah mengalihkan jiwa
pada suatu kegiatan tanpa ikatan dan rutinitas agar terhindar dari tertekannya
jiwa dengan satu macam aktivitas…Yah! Langkah ini sebenarnya sangat membantu
untuk istiqamah dan berlapang dada dalam mengerjakannya…
Subhanallah…
Sebenarnya…Sebagian hari itu memiliki keistimewaan
dan keutamaan atas sebagian yang lain dan hendaknya pelatihan jiwa
memperhatikan perbedaan di atas tersebut…
Contoh lain yaitu dalam masalah pakaian,
dengan memakai pakaian yang mudah di dapat tanpa adanya batasan dan tidak
berlebihan. Demikian juga dalam perkara makanan, minuman, dan segala sesuatu
yang mubah.
Nah…! Begitu juga dengan perangai, adab, dan
akhlak. Masing-masing dapat bersinar dan meredup dari mulai sikap ridha, marah,
lemah lembut, bodoh, berdosa, tobat, sikap yang lurus, dan kesalahan…
Hmmm…Mencapai kesempurnaan memang tuntutan,
namun adat dan kebiasaan umum memiliki pengaruh, serta mengakui realitas yanga
ada sebagai keharusan, tanpa berputus asa…
Jadiii…La Tahzan yaaa…!! &*_*&
**~ Mulai Ambil Mutiaranya satu-persatu
untuk kita untai yaaa…
&^_^& &*_*&
**Pada sebagian majelis terdapat banyak
kebaikan, diantaranya…Diam karena tidak tahu, berbicara berdasarkan ilmu, atau
selalu tenang dan berhati-hati serta mendengarkan hal-hal yang bermanfaat
baginya.
Dan…Pada sebagiannya terdapat kekeruhan,
yaitu banyak berkata yang tidak sesuai fakta, mendengarkan aib orang
(bergunjing), atau ceroboh dalam bergerak, atau tidak mempunyai akhlak dan
etika yang bagus.
Kriteria pertama wajib dimiliki dan memanfaatkannya sangatlah
dianjurkan…Dan, Seakan-akan ini adalah majelis yang terakhir di dunia…
Adapun, yang kedua…Maka keberadaannya harus
di akui dan meluruskannya dengan cara membangun yang sudah hancur darinya dan
mengumpulkan yang terserak diwajibkan atas seorang da’i…Tapi bukan dengan
mengambil sikap marah…
**Manusia itu terdiri dari berbagai macam
warna dan bentuk, ada orang yang berilmu dan ada juga yang bodoh, ahli ibadah
dan orang fasiq, orang shaleh dan orang yang rusak, orang yang berakal dan
idiot, orang yang bijaksana dan orang yang gegabah. Dan…Mengakui keberagaman
tersebut memanglah sebuah keharusan. Yakni menempatkan jiwa sesuai dengan
fenomena tersebut merupakan kewajiban dan melatihnya berdasarkan keragaman
tersebut sangatlah penting…
Hidup itu…
Tidak terlepas dari kesulitan dan kemudahan,
kesucian dan kekeruhan, rasa aman dan rasa takut, kebahagiaan dan kesedihan,
kesusahan dan kegembiraan, ketenangan dan kebimbangan, tertawa dan
tangis…kesuksesan dan kegagalan…sehat dan sakit, serta giat dan malas.
Heeemmm…Dan dalam keadaan tersebut, maka
ibadah tetap wajib dilaksanakan karena itu semua merupakan sebuah rangkaian
keadaan yang dilalui oleh seorang musafir dan setiap keadaan itu menuntut untuk
dipenuhi hak-haknya yang sesuai.
**Setiap jiwa memiliki banyak sifat yang
sesuai dengan orang lain, oleh karenanya seseorang tidak dapat mengenakan
kepribadian orang lain karena hal itu berarti pembunuhan terhadap karakternya
sendiri.
Yah…! Setiap orang itu mempunyai suara yang
khas, warna dan sifat yang khas pula…maka tidak dibenarkan meniru dan
ikut-ikutan dalam tabiat yang khusus. Kita memang diharuskan meneladani
orang-orang yang baik dalam sifat-sifat yang baik dan keutamaan-keutamaan yang
dimilikinya, akan tetapi tidak dalam tabiat jiwa yang menjadi ciri khusus
seseorang (yang Allah SWT telah ciptakan untuknya…) Yaitu tabiat yang tidak
mengurangi agama dan kepribadian seseorang. Maka…Hendaknya seseorang mengetahui
jati dirinya agar dapat mengenalkan kepada dirinya sifat-sifat aslinya tersebut…
**Hidup dalam batasan satu hati tidak lain
hanyalah mengumpulkan kekuatan, menyatukan potensi, meninggikan angan-angan,
dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kebaikan…
Maka…Hari beserta roda kehidupan yang
berputar di dalamnya merupakan aktivitas yang menyibukkan…jadi, bukanlah hari
kemarin yang telah berlalu dan bukan pula hari esok yang belum terjadi…
**Sibuk dengan urusan orang lain dan
kekurangan orang lain hanyalah suatu bentuk penyia-nyiaan hidup…Ya! Karena
barometer mereka kacau, kecenderungan mereka berdasarkan niat mereka, dan ridha
mereka pun tak dapat di raih…
Subhanallah…
**Tidak ada satu pun disiplin ilmu yang
sulit dipelajari…Akan tetapi, masing-masing ilmu memang memiliki kelebihannya
masing-masing. Maka…Hendaknya seseorang tidak meninggalkan satu pun amal shaleh
dengan alasan bahwa dia tidak mampu melakukannya dengan kontinu…dengan
istiqamah…Karena, sebenarnya orang yang menunggu kematian itu tidak akan
mempermasalahkan kontinuitas.
**Zuhud di dunia itu lebih di sukai oleh jiwa…Ya!
Karena dengan Zuhud jiwa menjadi tidak terikat dengan kenikmatan dunia yang
fana, jabatan, kedudukan bahkan semakin jiwa terbebas dari semuanya itu…maka
jiwa akan menjadi semakin lebih giat.
“BERLEPAS DIRILAH DARI DUNIA…KARENA ENGKAU
PUN DATANG KE DUNIA INI DENGAN TIDAK MEMBAWA SESUATU APA PUN.”
**Menuntut ilmu itu seperti melaksanakan
ibadah…Sebab ianya melalui tahapan-tahapan. Dan…Hendaknya seseorang tidak
mengkhususkan satu kitab atau satu disiplin ilmu tertentu pada waktu tertentu,
Yah…Seperti contohnya, belajar membaca pada jam sekian, menulis pada waktu
demikian, mendengar pada waktu tertentu. Hmmm…Tentunya langkah seperti ini
sangat memberatkan dan tidak akan sanggup diikuti oleh jiwa.
**Hendaknya kita jangan sekali-kali
meremehkan kebaikan meskipun itu hanya sedikit…Karena, sebagaimana kita tahu
bahwa;
BETAPA BANYAK SESUATU YANG SEDIKIT ITU TELAH
TUMBUH MENJADI BANYAK
Seperti melaksanakan shalat dua rakaat di
waktu luang, membaca satu halaman mushaf, bersedekah dengan sedikit harta atau
mengucapkan sedikit kata-kata yang baik…
**Tidur memiliki jadwal pada waktu-waktu
tertentu. Eeemmm…Aslinya memang tidur itu dilakukan pada waktu malam hari
bukan…? Namun…Terkadang ada satu urusan yang mengharuskan untuk terjaga pada
malam hari dan menggantinya dengan siang hari maka itu lebih baik. Dan…Jika
seseorang tertidur setelah subuh maka diperbolehkan saat mengalami kelelahan
yang sangat. Namun…Hendaknya, dia menghindari tidur setelah Ashar dan setelah
waktu Isya’.
**Kebenaran dan keindahan merupakan tuntutan
dalam beribadah, dan apabila keduanya ini bersatu dengan jumlah yang banyak,
maka…Itulah kesempurnaan. Dan…Apabila keindahan hilang, maka kualitas ibadahnya
pun banyak berkurang…
**Tafakur termasuk ibadah, bahkan termasuk
semulia-mulianya ibadah, akan tetapi hendaknya jangan berlebih-lebihan.
Bertafakur yang sesuai dengan porsinya dapat menambah keimanan berdasarkan
muatan dalam tafakur…
**Kebahagiaan tidak akan berlangsung
terus-menerus…Demikian halnya dengan kesedihan, karena sesungguhnya bersama
kesulitan terdapat kemudahan dan pada setiap musibah terdapat jalan
keluar…InsyaAllah…
**Dalam mendidik jiwa dan melatihnya, Allah
SWT memiliki hikmah yang sempurna dan rahasia yang menakjubkan bersama taqdir
yang sudah ditentukan untuknya dari kesedihan dan kebahagiaan, kegundahan dan
kegembiraan, pemberian dan musibah maupun dari sehat dan sakit…
**Kebersihan jiwa tidak memiliki waktu-waktu
tertentu, Karena terkadang jiwa menjadi suci pada waktu sibuk dan pada saat
berkumpul dengan orang banyak…
Subhanallah…
La Haula Wala Quwwata Illa Billah…
**Mengurangi kesibukan dan
pekerjaan-pekerjaan berat dapat memberikan kebebasan kepada ruh dan keleluasaan
untuk memperhatikan hal-hal yang sangat penting.
**Menghukumi suatu perkara, atau suatu
masalah, atau seseorang atau suatu pandangan tertentu haruslah fokus tidak
melebar kepada orang lain. Sebab memperlebarnya kepada yang lain dan menghukumi
sesuatu secara spesifik (secara langsung) berpotensi mengandung kesalahan.
**Ketenangan anggota badan adalah sesuatu
keutamaan yang mendorong tercapainya ketenangan hati…
**Mentadabburi nikmat dengan memandang
orang-orang yang berdosa dan keadaan orang-orang yang sedang di uji oleh-Nya
itu merupakan ibadah. Dan memandang orang yang berada di bawah kita merupakan
hiburan.
**Barang siapa yang berani melanggar
batasan-batasan Allah SWT, dan menganggap biasa perbuatan-perbuatan yang tidak
baik, maka obatnya adalah rasa takut. Ya! Barang siapa yang giat melakukan
kebaikan-kebaikan dan mencintai amalan-amalan taqarrub, maka raja’ (berharap)
merupakan motor pendorong baginya. Karena…Seringkali seseorang merasa mencapai
kesempurnaan, baginya terasa ringan untuk beramal dan amalannya terus saja
meningkat…
**Ibadah yang paling mudah, paling
bermanfaat, dan lebih ringan ialah dzikrullah…
Engkau bersenandung dengannya…Larut dalam
untaian kalimatnya…berjalan di taman-taman dzikir…dan jadikanlah dzikrullah
kesibukan bagi kita…Dan, jika ditambahkan amalan-amalan nafilah maka itu kebih
baik…
**Diantara manfaat buku-buku biografi, adab,
dan buku cerita ialah…Mengembangkan wawasan pendidikan dan naluri sosial
berdasarkan ilmu. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa buku-buku tersebut
sarat dengan pengalaman hidup, orang-orang panutan, dan tentang sikap…Bahkan
kitab-kitab atau buku-buku yang memuat perjalanan hidup orang-orang yang fajir
lagi sesat sekalipun…
Subhanallah…
**Dua hal yang menjadi ruh keimanan dan
bahan bakarnya ialah…Dzikir dan berpikir.
**Zuhud berarti meninggalkan sesuatu yang
tidak bermanfaat di akhirat dan wara’ berarti meninggalkan sesuatu yang
ditakutkan akan menimbulkan mudharat. Cukuplah seseorang berdosa dengan
mengungkapkan segala sesuatu yang didengarnya. Berbicara kepada manusia
hendaknya sesuai dengan kemampuan akal pikiran mereka. Tawaqquf (berhenti) diantara
dua hal berarti kebimbangan dan keraguan…dan mantapkanlah hati kita pada
sesuatu setelah istikharah dan musyawarah.
**Perluasan dalam segala urusan membuahkan
kebaikan, berkah, dan upaya pelurusan. Dan…Di dalam Uzlah berarti memahami
realitas, memetik banyak faedah dan menghasilkan berita yang menakjubkan.
Karena orang yang selalu bergaul dengan manusia maka pikirannya akan menjadi
lunak, amalannya hilang, dan rela dengan realitas yang terjadi.
**Ilmu dituntut dari sejak mengenal tinta
hingga ke liang kubur, dan hikmah diambil dari siapa pun orang yang
mengucapkannya…
SUNGGUH…! BETAPA BANYAK MUTIARA DITEMUKAN DI
TEMPAT SAMPAH.
**Mu’adz bin Jabal telah berkata ketika
berwasiat kepada seorang lelaki,
“SHALATLAH DAN TIDURLAH, BERPUASALAH DAN
BERBUKALAH, DAN CARILAH PENGHASILAN DAN JANGANLAH ENGKAU BERBUAT DOSA. MULAILAH
DENGAN MENGERJAKAN AMAL AKHIRAT KEMUDIAN AMBILLAH BAGIANMU DARI NIKMAT DUNIA.”
**Umar r.a. berkata pada hari Tsaqifah,
“AKU MENULIS DALAM DADAKU PERKATAAN YANG
HENDAK AKU UCAPKAN.”
Jadiii…Seorang yang berbicara hendaknya
menyiapkan buah pikirannya dan konsentrasi kepada kata-kata yang hendak dia
ucapkan…Lantas mengujinya di dalam hatinya, baru kemudian mengucapkannya…
Hmmm…Bagaimana kalau dengan latihan di depan
cermin dulu yaaa…? &^_^& &*_*&
**Dengan sabar dan yakin kepemimpinan di
dalam agama akan diraih. Hakikat dari Karamah ialah selalu istiqamah. Keteguhan
hati dalam kebaikan tanpa ada keraguan merupakan kemenangan bagi seseorang…
**Renungkanlah kalimat agung berikut ini…
“SESUNGGUHNYA PADA DIRIMU TERDAPAT DUA SIFAT
YANG DICINTAI ALLAH SWT, YAITU KEMURAHAN HATI DAN KESABARAN.”
**Imamah (sorban) merupakan ciri seorang
syaikh, sementara penuntut ilmu syar’i dapat dikenali dari cara duduk dan
kekhusyukannya, dari keluar masuknya majelis ilmu, dan dari ketenangan yang
tampak darinya…
**Bagaimana jika salah seorang dari
sekelompok orang ketika ghibah (menggunjing) orang lain, lantas dia menebusnya
dengan bersedekah sekian dan sekian misalnya…Hmmm…Maka lihatlah yang terjadi
kemudian tatkala ia mulai merasa takut hartanya habis…Maka dengan sendirinya
seseorang itu meninggalkan kebiasaannya untuk ber-ghibah bukan…?
**Imam Al-Bukhari berkata,
“SESUNGGUHNYA ILMU ITU DIPEROLEH DENGAN
BELAJAR.”
Umar bin Abdul Aziz pun berkata,
“HENDAKLAH KALIAN MENYEBARLUASKAN ILMU, DAN
BERMAJELISLAH KALIAN HINGGA ORANG YANG TIDAK BERILMU DAPAT MENGETAHUI.
SESUNGGUHNYA ILMU TIDAKLAH BINASA HINGGA MENJADI RAHASIA.”
**Ada yang mengatakan…
“BAHWA SETIAP ILMU ITU MEMILIKI BEKAS DAN
JEJAK PADA WAJAH PEMILIKNYA. AL-QUR’AN DAN AL-HADITS MEMILIKI WARNA SENDIRI.
SYAIR DAN SASTRA PUN MEMILIKI WARNA TERSENDIRI. DEMIKIAN SETERUSNYA…”
&*_*&
Heeemmm…Subhanallah…Dan tentunya masih
banyak lagi jika kita mau memunguti mutiara-mutiara hikmah nan mempesona yang
siap untuk kita untai menjadi perhiasan terindah yang tiada duanya…
Subhanallah…La Haula Wala Quwwata Illa
Billah…

Tidak ada komentar:
Posting Komentar